Anda Benci Tulisan Sendiri? Itu Bagus

Pernahkah Anda membenci tulisan sendiri?

Pernahkah Anda  tidak menyukai tulisan opini yang dibuat dengan susah payah? Atau merasa cerpen yang ditulis itu tidak terlalu bagus? Atau merasa novel yang sedang dibuat tidak terlalu menarik?

Jika jawabannya YA, maka itu pertanda bagus.



Merasa benci dan tidak suka pada tulisan sendiri merupakan perasaan wajar yang seharusnya muncul pada setiap penulis.

Kenapa?

Karena merasa benci pada tulisan sendiri merupakan bagian dari proses pembelajaran.
Karena pada prakteknya, semua penulis hebat saat ini pernah, dan sering membuat tulisan yang jelek di masa lalu. Dan dari tulisan jelek inilah mereka belajar untuk menjadi lebih baik.

Penulis harus membuat banyak tulisan jelek untuk menjadi hebat. (tweet kalimat ini)

Perasaan tidak suka pada tulisan sendiri merupakan pertanda bahwa kita punya selera yang bagus pada satu tulisan. Bahwa tulisan kita memang belum mencapai standar yang seharusnya. Dengan adanya perasaan seperti ini, akan memicu semangat untuk mencoba menulis lebih baik. Dengan memperbaiki kekurangan, dengan belajar dari kekurangan, dan tetap fokus dan giat berlatih.

Kekurangan dan kelemahan pada tulisan itu harus ada. Karena dengan kekurangan itu kita bisa berbenah diri. Dengan mencoba meminimalisir kekurangan, dan menjadi penulis yang lebih bagus.

Terjebak pada rasa

Rasa benci pada tulisan sendiri itu bagus untuk memotivasi diri untuk menjadi lebih baik. Sayang, banyak penulis yang terjebak pada rasa benci, dan enggan untuk move on. Rasa benci pada tulisan sendiri menimbulkan krisis kepercayaan. Mereka berpikir tak punya cukup talenta untuk menjadi penulis. Mereka bahkan merasa telah menghabiskan waktu karena hanya menghasilkan “tulisan sampah”.

Kalau begitu, bagaimana caranya supaya bisa ‘move on’ dan menjadikan rasa benci ini sebagai titik balik untuk menjadi lebih baik?

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

•  Mencintai proses menulis

Menulis itu merupakan sebuah proses. Untuk menjadi penulis yang bagus, kita harus mencintai tahap demi tahap dari proses itu. Menulis harus dirasakan sebagai bagian dari bersenang-senang

•  Bersedia menerima kritik dengan hati terbuka

Kesediaan menerima kritik merupakan langkah awal untuk maju. Dengan menerima masukan dengan hati lapang, berarti kita siap untuk memperbaiki kekurangan. Memang, realitanya tidak mudah untuk menerima kritik. Secara naluriah kita akan bersikap defensif bahkan protektif.  Namun dengan hati lapang yang berangkat dari kesadaran bahwa kita memang “belum sebagus itu”, kita bisa menerima kritik sebagai cambuk untuk menjadi lebih baik.

•   Menyiapkan diri untuk berkembang

Penulis itu harus maju. Sekalipun perlahan, namun setidaknya hari ini harus lebih baik dari kemarin. Besok harus lebih baik dari hari ini. Penulis harus memantapkan diri untuk mempelajari hal baru, dan memperbaiki kekurangan.

•  Mengontrol nasib sendiri

Anda punya kontrol penuh pada tulisan yang dibuat. Anda juga yang memutuskan apakah sebuah tulisan perlu dipublikasi di blog atau tidak. Anda yang memutuskan apakah novel yang dibuat perlu dikirim ke penerbit atau tidak.

Jika pada akhirnya Anda merasa tulisan atau cerpen atau novel yang dibuat layak terbit, layak publikasi, lakukan saja.

•  Tetap menulis, dan membaca

Menulis dan membaca harus menjadi ritual wajib bagi penulis. Penulis itu tugasnya menulis, dan bukan menyanyi. Jadi menulislah, di setiap waktu yang memungkinkan.

Dan sediakan waktu untuk membaca. Dengan membaca, cakrawala wawasan akan terbuka. Kita bisa belajar banyak dari sesama penulis. Kita bisa mendapat pengetahuan. Juga ide.

Pengarang itu membuang naskahnya

Sekitar tiga puluhan lalu, ada seorang lelaki yang mencoba menjadi penulis. Dia berusaha membuat novel. Karena menyukai genre horor, lelaki itu mencoba membuat novel horor.

Dia menghabiskan waktu berminggu-minggu menyelesaikan novelnya. Dan akhirnya novel itu rampung.

Begitu rampung, lelaki itu membaca kembali naskahnya. Dan dia merasa tidak suka. Dia merasa novelnya jelek. Dia benci dengan novelnya. Saking bencinya, lelaki itu membuang naskah ke tempat sampah.

Keesokan harinya, istri sang lelaki yang hendak membuang sampah melihat naskah itu. Iseng, perempuan itu mengambil dan membacanya. Dan dia merasa tertarik.

“Cerita ini bagus. Memang ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki, namun kisah ini bagus,” kata sang istri. “Naskah ini jangan dibuang. Diperbaiki saja.”

Sang lelaki mengikuti anjuran sang istri. Dia membaca lagi, dan menemukan sejumlah ‘lubang’ yang kemudian diperbaiki.

Setelah selesai, naskah itu dikirim ke penerbit.

Naskah ditolak. Dikirim lagi, dan ditolak lagi.

Hingga akhirnya mujizat terjadi. Sebuah penerbit menerima dan bersedia menerbitkan.

Novel bertema horor itu laku keras di pasaran dan menjadi best seller. Novel itu kemudian difilmkan. Film yang berjudul sama dengan novelnya: Carrie, juga menjadi box office.

Lelaki itu, yang sempat membuang naskah ke tempat sampah karena membenci karyanya sendiri kini dikenal sebagai salah satu penulis horor terkemuka dunia. Dia bernama Stephen King.

Stephen King pernah membenci naskah Carrie, dan membuangnya. Dia kemudian memprbaiki kekurangan, dan kini menjadi penulis besar.

Bagaimana dengan Anda?

0 comments:

Post a Comment